Kuau Raja, sejenis burung besar, tinggal di Pulau Sumatera. Burung besar ini tidak hanya dikenal karena ukurannya yang besar, tetapi juga karena bulunya yang bercorak bulatan yang menyerupai ratusan mata serangga. Warnanya berbintik keabu-abuan dan cerah. Ketika bulu ekornya megar, “mata-mata” ini akan lebih terlihat, terutama saat burung jantan menunjukkan sayap dan ekornya di depan burung betina.
Seperti burung merak, bulu sayapnya membentuk kipas dan menunjukkan “ratusan mata” di depan pasangannya. Karena itulah Carolus Linnaeus (1707–1778) memberikan nama ilmiah burung kuau raja Argusianus argus. Dalam mitologi Yunani, Argus adalah raksasa bermata seratus. Dalam bahasa Inggris, makhluk ini juga disebut Great Argus.
Burung kuau raja (Argusianus argus) berukuran besar. Burung jantan dewasa dapat mempunyai panjang hingga 2 meter (kepala sampai ekor), sedangkan burung kuau besar betina hanya sekitar 75-an cm dengan ekor dan bulu sayap lebih pendek. Berat badannya mampu mencapai 10 kg lebih. Selain bulatan-bulan menyerupai mata pada bulunya, ciri khas lainnya burung ini adalah terdapatnya dua helai bulu ekor yang panjangnya hingga 1 meter.
Bulu tubuh kuau raja berwarna dasar kecoklatan dengan bundaran-bundaran berwarna cerah serta berbintik-bintik keabu-abuan. Kulit di sekitar kepala dan leher pada burung jantan biasanya tidak ditumbuhi bulu dan berwarna kebiruan. Pada bagian belakang kepala burung betina terdapat bulu jambul yang lembut. Paruh berwarna kuning pucat dan sekitar lobang hidung berwarna kehitaman. Iris mata berwarna merah. Warna kaki kemerahan dan tidak mempunyai taji.
Kuau raja memang tidak bisa terbang jauh, namun kekurangan ini diimbanginya dengan kemampuan berlarinya yang sangat baik. Burung ini juga dapat berpindah tempat dengan melompat ke dahan-dahan pohon. Kuau raja juga memiliki penciuman dan pendengaran yang sangat tajam sehingga sukar ditangkap. Kebiasaannya adalah membuat sarang di permukaan tanah dan makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, biji-bijian, siput, semut, dan berbagai jenis serangga.
Kuau jantan biasanya soliter, sangat teritorial, dan penganut poligini (satu jantan banyak betina). Jantan menunjukkan teritorinya dengan membersihkan daerahnya dari daun, ranting, semak atau batu, dan bersuara di areanya pada pagi hari.
Namun begitu, suaranya meledak-ledak. Mereka mengeluarkan nada ganda dengan bunyi: “ku-wau”. Mungkin, itulah salah satu sebabnya mengapa spesies ini diberi nama kuau raja. Suara ini akan terdengar kembali setiap jeda 15-30 detik atau bahkan lebih panjang.
Di Indonesia, kuau raja hanya ada di Sumatera dan Kalimantan. Tak heran burung raksasa ini kemudian ditetapkan sebagai maskot atau fauna identitas daerah Provinsi Sumatera Barat ((Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1989). Sedangkan secara global, persebaran burung kuau raja meliputi wilayah di Thailand, Myanmar, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Habitat yang disukainya adalah hutan primer di dataran rendah hingga ketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut.
Dalam status konservasi yang dikeluarkan oleh IUCN Redlist, status kuau raja adalah Near Threatened (mendekati terancam punah). Burung kuau raja juga tercantum dalam Apendiks II CITES. Selain itu, burung ini tertera sebagai burung yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999.
Ancaman terhadap kelestarian burung ini terutama disebabkan oleh rusaknya habitat akibat kerusakan hutan, kebakaran hutan, dan alih fungsi hutan. Selain itu perburuan yang dilakukan untuk mendapatkan daging dan bulu ataupun untuk diperdagangkan ikut menjadi ancaman bagi raksasa besar dengan seratus mata ini.