Mengenal Okupasi Lahan Hutan

Salah satu negara yang memiliki banyak hutan adalah Indonesia. Pada Januari 2015, luas hutan Indonesia mencapai 124.023 hektar, menurut data dari Badan Pusat Statistik. Luas hutan yang luar biasa luas ini tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk memantaunya. Hal ini menyebabkan banyak masalah di hutan Indonesia. Okupasi lahan hutan adalah salah satu masalah di hutan Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan “okupasi” dalam dua arti: “okupasi” dapat berarti pendudukan, penggunaan, atau penempatan tanah kosong; atau “okupasi” dapat berarti pendudukan dan penguasaan suatu wilayah oleh tentara asing. Oleh karena itu, okupasi lahan adalah ketika area tertentu digunakan atau ditinggali untuk waktu yang lama tanpa izin dari pemilik tanah yang sah. Negara pemilik tanah yang sah ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengawasi dan mengawasi segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Pemilik tanah yang sah ini juga berhak memberikan izin pengelolaan hutan yang sah kepada perusahaan yang memenuhi syarat.

Masalah okupasi sebenarnya terjadi ketika masyarakat yang ada di sekitar hutan memanfaatkan lahan hutan yang dikuasai oleh perusahaan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pertambahan jumlah penduduk, rendahnya pendapatan perkapita, terbatasnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian, terbatasnya pemilikan lahan, dan rendahnya produktivitas usaha tani. Ada dua faktor utama timbulnya okupasi, yaitu kesenjangan yang terjadi karena masyarakat iri kepada perusahaan yang diberi izin mengelola hutan oleh pemerintah dan ketidakpedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitar wilayah hutan.

Jika okupasi pada lahan hutan terus berlangsung maka akan timbul dampak buruk terhadap hutan itu sendiri. Apabila lahan hutan rusak maka lingkungan hidup juga akan mengalami gangguan bahkan kerusakan. Gangguan atau kerusakan tersebut berupa terganggunya siklus air, hilangnya beberapa jenis spesies bahkan dapat menyebabkan perubahan iklim.

Alternatif untuk menyelesaikan masalah okupasi lahan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif dilakukan dengan pendekatan yuridis dan pendekatan sosiologis dengan mengetengahkan upaya-upaya preventif dalam usaha penanggulangan okupasi lahan pada kawasan hutan. Upaya tersebut dapat dimulai dengan melibatkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Sosialisasi kepada masyarakat merupakan hal paling penting dalam penyelesaian melalui tindakan preventif.

Tujuan dari sosialisasi ini agar masyarakat merasa dihargai sebagai stakeholder yang telah mendiami kawasan sejak nenek moyang mereka. Upaya-upaya penyuluhan secara rutin kepada masyarakat sangat perlu untuk mengurangi terjadinya pembukaan lahan di kawasan hutan negara dikemudian hari. Penyuluhan ini penting dilakukan oleh pengelola secara berkala. Selain itu, program-program pembanguanan hutan yang melibatkan masyarakat harus segera diupayakan (Supardi, 2000).

Usaha represif dilakukan untuk mengembalikan kawasan hutan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Bentuk penyelesaian ini dilakukan apabila antara pihak pengelola dengan masyarakat sudah tidak menemui titik temu untuk menyelesaikan masalah lahan. Adapun upaya-upaya represif tersebut, yaitu :

  1. ResettlementĀ (mengeluarkan) terhadap para okupant, melalui usaha transmigrasi baik lokal maupun regional.
  2. Melepaskan kawasan hutan yang telah diokupasi tersebut kepada masyarakat tanpa kompensasi, hal ini dapat dilakukan terhadap areal hutan produksi konversi dan areal penggunaan lain.
  3. Melepaskan kawasan hutan yang telah diokupasi tersebut, dan masyarakat diharuskan menyediakan areal lain untuk dijadikan kawasan hutan.
  4. Melakukan pengambilan lahan secara paksa dengan bantuan aparat kepolisian dan aparat terkait.

Tindakan secara represif tersebut sebisa mungkin tidak terjadi karena sangatlah ekstrim dan dapat memicu konflik yang lebih besar. Masyarakat yang telah hidup bertahun-tahun di kawasan tersebut tidak bisa dipaksa untuk meninggalkan kawasan tempat tinggal mereka (Supardi, 2000).