Mengenal Suku Baduy Adat Sunda

Suku Baduy merupakan suatu kelompok masyarakat adat Sunda yang berada di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan Baduy diberikan oleh penduduk luar, tetapi masyarakat tersebut menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes. Menurut sejarah, masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang runtuh pada abad ke-16 di Pakuan Pajajaran.

Awal mula Suku Baduy ialah ketika Kian Santang putra Prabu Siliwangi kembali dari Saudi Arabia, setelah memeluk Islam di tangan Sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya, namun mereka menolaknya. Prabu Siliwangi dikejar hingga daerah Lebak, yang sekarang menjadi tempat bermukim Suku Baduy. Lalu, Sang Prabu berganti nama menjadi Prabu Kencana Wungu. Di Baduy Dalam lah  Prabu Siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga mangkat di Cikeusik, Baduy Dalam, Desa Kanekes.

Seiring berjalannya waktu terdapat suku Baduy Luar, yaitu kelompok yang tinggal mengelilingi wilayah suku Baduy. Baduy Luar adalah masyarakat yang dikeluarkan karena melanggar adat Baduy Dalam. Selain itu, Suku Baduy Luar merupakan mereka yang memiliki keinginan untuk keluar dari Baduy Dalam. Saat ini, kebanyakan dari masyarakat Baduy Luar telah berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya.

Suku Baduy memiliki tradisi dan adat istiadat seperti yang banyak diketahui orang, yaitu Seba. Di mana masyarakat Baduy berjalan kaki puluhan kilometer tanpa alas kaki menuju pendopo Kabupaten Lebak. Hal ini bertujuan untuk bersilaturahmi dengan ‘Bapa Gede’. Terdapat perbedaan dalam tradisi ini yang mana masyarakat Baduy Dalam akan melaksanakanya dengan berjalan kaki. Sedangkan, masyarakat Baduy Luar akan naik kendaraan atau angkutan.

Berikutnya, adapula tradisi Kawulu atau penyucian diri. Tradisi ini dilaksanakan dengan melakukan puasa selama tiga bulan penuh sesuai penanggalan Suku Baduy. Selain itu, tradisi ini bertujuan untuk melakukan permohonan doa. Doa yang dipanjatkan, yaitu agar diberikan keberkahan hidup, keselamatan semesta, dan menambah rasa syukur. Selanjutnya, terdapat tradisi Ngalaksa yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baduy sebagai ucapan syukur. Ngalaksa sendiri lebih sering disebut sebagai lebaran.

Kemudian, adanya pakaian khas yang dikenakan oleh para lelaki Suku Baduy. Di antaranya seperti pada Suku Baduy Luar, pakaian itu disebut “Roma Batik”. Pakaian ini merupakan ikat kepala dari kain bermotif batik kupu-kupu berwarna hitam dan biru muda. Pakaian “Kampret Hideung”, yaitu baju lengan panjang berkerah dengan kantung besar pada bagian bawah. Lalu, Celana Pondok merupakan celana pendek dengan panjang di atas lutut berwarna hitam. Tak lupa, sabuk pengikat celana terbuat dari kayu teureup. Sabuk ini dilengkapi dengan tas kulit kayu atau jarogdan sebilah golok yang terselip di pinggang.

Berbeda dengan pakaian yang dipakai oleh para lelaki Suku Baduy Dalam yang disebut “Jamang Sangsang”. Pakaian ini merupakan baju berlengan panjang yang dipakai dengan cara hanya disangsangkan pada tubuh. Untuk bawahannya, mereka menggunakan kain berwarna biru-kehitaman yang dililitkan dan diikat pada pinggang. Sebagai pelengkap, para lelaki ini menggunakan ikat kepala berwarna putih. Untuk pembeda dari pakaian adat Baduy Dalam didominasi berwarna putih sedangkan Baduy Luar dengan warna hitam.

Masyarakat Suku Baduy Luar sampai sekarang masih memegang kepercayaan Sunda Wiwitan. Secara adat warga dipimpin oleh ketua adat tertinggi yang disebut Jaro. Suku Baduy Luar memperbolehkan menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia untuk datang berkunjung bahkan hingga menginap.

Jika ingin berkunjung yang harus diperhatikan pertama, yaitu menjaga kelestarian alam. Seperti tidak membuang sampah ke sembarang tempat, menggunakan barang dalam kemasan sekali pakai, serta menggunakan pasta gigi dan sabun di sungai. Karena Suku Baduy sungguh menjauhi dari hal-hal yang berbau duniawi. Oleh karena itu, Suku Baduy sangatlah menjaga aturan adat istiadat yang mereka pegang.